Banyak di antara kita yang tidak
lagi mengenal Kentrung, salah satu kesenian yang dimainkan oleh sebuah
grup dengan seperangkat alat musik yang terdiri dari kendang, ketipung
dan jidor. Kentrung adalah salah satu kesenian bertutur, seperti
layaknya wayang kulit. Hanya saja Kentrung tidak disertai adegan wayang.
Sepanjang pementasanya Kentrung hanya diisi oleh seorang dalang yang
merangkap sebagai penabuh gendang dan ditemani oleh penyenggak yang
menabuh rebana (jidor). Dulu Kentrung banyak dipentaskan pada berbagai
hajatan masyarakat seperti syukuran kelahiran anak, khitanan, pitonan, maupun mudun lemah.
Kentrung sarat akan nilai-nilai dakwah. Ma
... Read more »
Usai Dimandikan, Kedua Kucing Dilepas Bebas
Festival Budaya Tulungagung Manten Kucing yang digelar nanti, tak lain sebagai wahana untuk lebih mengenalkan upacara adat tersebut ke masyarakat lebih luas.
Dulu Manten Kucing dilaksanakan sebagai tatacara untuk memohon turunnya hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun dengan perkembangan zaman, Manten Kucing diadakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan bahwa permohonan turunnya telah dipenuhi. Apapun bentuknya, kita wajib melestarikan upacara adat/tradisi lokal sebagai kekayaan budaya Tulungagung yang bisa menambah kekayaan budaya bangsa dan aset wisata budaya.
Di Coban sana, lima hari sebelum upacara digelar, sesepuh pemimpin upacara menggelar ritual memohon izin terkait dengan hari yang telah ditentukan untuk menggelar Manten Kucing. Hal itu dilakukan se
... Read more »
Tombak Kyai Upas adalah pusaka Kabupaten
Tulungagung. Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Babad Tulungagung,
menurut latar belakang budayanya atau cerita rakyat dari versi keluarga
Raden Mas Pringgo Kusumo Bupati Tulungagung yang ke X.
Konon, pada akhir
pemerintahan Mojopahit banyak keluarga Raja yang membuang gelarnya
sebagai bangsawan, dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Salah seorang kerabat Raja bernama
Wonoboyo melarikan diri ke Jawa Tengah dan babat hutan disekitar wilayah
Mataram dekat Rawa Pening-Ambarawa. Setelah membabat hutan Wonoboyo
bergelar Ki Wonoboya. Selanjutnya hutan yang dibabad itu dikemudian hari
menjadi suatu pedukuhan yang sangat ramai. Dan sesuai dengan nama
putranya, oleh Ki Wonoboyo dukuh itu dinamakan Dukuh Mangir.
Pada s
... Read more »
Anggapan Tayub sebagai tarian mesum
merupakan penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik
dengan hal-hal yang negatif. Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai
positif yang adiluhung. Selain itu, Tayub juga menjadi simbol
yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis
tentang jati diri manusia.
Kesan Tayub sebagai tarian mesum muncul
pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul
''History of Java'', menulis Tayub sebagai tarian ronggeng mirip
pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal
Belanda, G Geertz dalam bukunya ''The Religion of Java''.
Tapi, menurut koreografer Tayub
Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles
dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang
diberikan pada Tayub hakikatnya terbatas pada pandangan
... Read more »
Reyog kendang Tulungagung merupakan gubahan tari
rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala
mengiringi pengantin "Ratu Kilisuci" ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan
dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan
pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reyog ini barisan prajurit
yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian
tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa
berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk,
terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung,
bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke
dalam, kepanikan mereka, ketika "Sang Puteri" terjatuh masuk kawah,
disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah
tersebut, sehingga Jathas
... Read more »